Kamis, 10 Desember 2020

Rindu Ini Masih Menyebut Namamu

 

Apa yang menyedihkan dari rindu? Ketika ia ada dihadapanmu, namun tak lagi melihat ke arahmu. Apa yang lebih menyakitkan dari rindu? Ketika ia ada di dekatmu, namun tak lagi bisa kau tuju. Senyumnya bukan untukmu lagi, tawanya bukan karenamu lagi.

Semua telah berubah. Semua tak lagi terasa sama. Ada kosong yang tak bisa dijelaskan oleh kata. Ada hampa yang semakin kian terasa. Kau ada dihidupku, tapi bukan untuk kumiliki. Kau ada di hariku, namun tak lagi bisa kuraih.

Rasa tak berdaya tiap kali rindu tentang menyerang tanpa peduli aku yang sudah hancur. Aku menghibur diri tiap kali rindu datang tanpa permisi. Dulu, kamu yang selalu kucari diujung hari lelahku. Kamu yang selalu meredakan badai dalam setiap hari burukku. Kamu yang selalu meyakinkan ku bahwa semua akan baik-baik aja. Saat itu, hati selalu terasa teduh tiap kali kau ada.

Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku bisa tertawa lepas. Sejak kepergianmu, langit yang menaungiku seakan terasa runtuh. Tak lagi dapat melihat langit yang sama, tak lagi dapat melihat warna yang sama.

Hari-hariku tak lagi terasa lengkap. Ada sakit yang kurasakan, ada pedih yang kupendam. Seakan ada bagian dalam diri yang juga ikut terambil. Ada bagian yang tak lagi terasa pas. Airmata selalu menetes saat rasa rindu ini hadir. Gambaran kita yang dulu pernah tertawa bersama menjadi kita yang kini berlomba menorehkan luka. Kita yang berawal dari asing, menjadi kita yang kembali menjadi asing.

Mengingat semua kenangan di hari lalu, semakin membuat hati terasa pilu. Tak ku sangka, merindukanmu akan terasa menyakitkan. Saat tak ada lagi kata yang bisa terucap. Saat tak ada lagi yang bisa kuperbuat. Rasanya masih bisa melihatmu dari kejauhan menjadi sesuatu yang harus kusyukuri.

Kuyakinkan diri bahwa aku akan baik-baik saja tanpamu. Meski berkali-kali aku merasa patah. Kulambungkan harap, agar Tuhan berkenan mengulang cerita kembali, meski hanya satu hari. Untuk bisa bertemu denganmu sekali lagi. Untuk berkenalan denganmu sekali lagi. Dan untuk bisa berbagi tawa denganmu sekali lagi.

Merindukanmu adalah siksa bagiku, saat rindu ini masih saja menyebut namamu.

Rabu, 11 November 2020

Lembar-Lembar Usang

 

Aku pernah mengenal seseorang. Bahkan mungkin masih kukenal hingga kini. Seseorang yang setengah mati ingin kubenci. Seseorang yang susah payah kucoba untuk tak lagi peduli. Kamu, yang hingga kini masih terpatri dalam pikiranku.

Aku mencoba membuka kenangan lembaran demi lembaran hari yang pernah kulalui bersamamu. Mengingat setiap kenangan yang merekam segala tentangmu. Bohong rasanya jika kini kukatakan bahwa aku baik-baik saja.

Kumulai membuka lembar pertama, saat aku mengenalmu. Mengenal sosokmu yang begitu dingin dan tertutup. Bagai dinding berlapis baja, pertahananmu sulit untuk kutembus. Pelan-pelan, kau mulai membuka diri. Membiarkanku memasuki duniamu. Saat itu terasa membahagiakan. Senyum tak lepas dari bibirku setiap hari. Melihat sisi lain dirimu yang tak bisa kau tunjukan di depan banyak orang.

Aku membuka lembar berikutnya, masih terisi dengan berbagai kisah manis yang mengingatnya saja bisa membuatku tersenyum. Kita yang kala itu masih menertawakan hal yang sama, masih berbagi kisah tentang apa saja, dan sesekali berdebat hanya karena perbedaan pendapat. Kamu yang sering memaksaku untuk mendengarkan lagu-lagu kesukaanmu meski sering kali aku mengeluhkan seleramu yang terlalu tua. “Justu ini yang menginspirasi,” katamu kala itu sambil tersenyum penuh kemenangan karena melihatku hanya bisa pasrah dan terpaksa ikut mendengarkan.

Aku teringat ketika kamu yang menenangkanku disaat kepanikan melanda ketika aku harus memutus kontrak karyawan; karena kamu tahu aku paling tidak suka menyampaikan berita buruk. Pernah juga suatu waktu, kamu menceritakan kekecewaan yang tak bisa kamu ceritakan pada siapapun. Kamu yang hanya bisa bercerita kepadaku, menumpahkan segala kemarahanmu, mengekspresikan semua kekecewaanmu. Tidak ada yang mengerti kamu sebaik aku. Tidak ada yang mampu menenangkanku selain kamu.

Lembar selanjutnya mulai terlihat kusam. Halaman yang berisikan kekecewaan. Lembar kebahagaiaan yang membuatku tersenyum seakan tidak lagi bermakna. Sejak awal kita tak benar-benar berjalan pada garis yang sama. Kita yang terlalu terlena hingga tanpa sadar memaksakan agar tetap dapat berjalan di garis yang sama. Kita yang berbeda dalam menyebut nama Tuhan, namun berusaha selalu ada tiap kali kita saling membutuhkan.

Hingga satu hari secara tiba-tiba kau berkata bahwa aku menghalangi serta menjadi penghambat hidupmu. Kau ingin agar aku menjauh darimu. Bagai petir di siang terik, kau hancurkan hatiku tanpa sisa. Benar, tidak ada yang lebih menyakitkan dari dikecewakan oleh orang yang dianggap tak akan pernah menyakiti.

Aku menarik seratus langkah menjauh darimu. Kau kembali membangun tembok setinggi-tingginya. Tidak ada lagi cerita manis seperti di hari lalu. Tidak ada lagi tawa yang kita bagi diujung hari. Tidak ada lagi celah meski untuk sebatas menyapa. Kita memilih dan kembali menjadi asing. Katamu, itu cara agar kita bisa kembali pada garis masing-masing. Katamu, itu cara agar kita bisa saling melupa. Katamu, itu cara agar aku bisa kembali bahagia. Dan katamu, itu cara agar aku bisa membencimu. Kemudian di lembar ini, ada dia—yang kau perkenalkan untuk mengisi duniamu. Dia—yang beribadah di tempat yang sama denganmu.

Kini, hari-hari yang kulalui tak lagi terasa berwarna. Pertengkaran demi pertengkaran menghapus semua tawa di hari lalu. Tatap hangatmu yang dulu menenangkan kini berganti dengan sorot mata penuh kebencian. Aku melewati malam-malam yang buruk. Kenangan bersamamu sering kali menghantam bertubi-tubi. Tak pernah kusangka, meninggalkanmu akan semenyakitkan ini. Aku seakan tak lagi mengenali diriku. Senyum yang dulu selalu terhias di bibirku, kini berganti air mata yang siap tumpah kapanpun. Tak bisa kah kita berpisah tanpa harus saling membenci?

Menjauhimu memang tak pernah terasa mudah. Kau ada di hidupku, tapi tidak untuk kumiliki. Berkali-kali aku harus membunuh rindu yang tersembunyi ketika mata kita bertemu. Aku ingat satu hari di masa lalu, ketika kita masih membagi tawa yang sama, bukan kini kita yang saling berlomba siapa yang paling unggul perihal menorehkan luka.

Hari demi hari kulalui dengan sulit. Berusaha merelakanmu memilih dia yang kelak mendampingi hidupmu. Merelakanmu membagi tawa dan cerita di ujung hari lelahmu, yang bukan dengan aku. Merelakan segala kenangan mengabur bersama langkahmu yang kian menjauh.

Kubuka lembar terakhir. Hidup harus terus berlanjut. Aku berusaha menguatkan hati berkali kali. Mencoba berdamai dengan keadaan meski menyakitkan. Bercengkrama dengan diri sendiri agar mampu kembali berdiri. Aku hanya ingin mengingatmu dengan indah, tanpa harus ada perih. Kututup buku cerita bersamamu. Cerita yang jauh dari sempurna, namun menjadi saksi bahwa aku dan kamu pernah ada. Kini, kita tak lebih dari lembaran-lembaran usang yang hanya cukup untuk dikenang. Dan mencintaimu, kesalahan yang cukup kulakukan satu kali.

Senin, 24 Februari 2020

Cinta Tak Pernah Cukup Untuk Kamu Yang Tak Pandai Menghargai


Hari berlalu terlalu cepat. Waktu berputar tanpa kenal kembali. Kalau saja setiap kejadian mengenal kata seandainya. Seandainya hari itu tidak pernah terjadi. Seandainya waktu tak membawaku mengenalmu. Dan seandainya hati tak pernah jatuh kepadamu. Mungkin senyum itu tetap terlukis di bibirku. Mungkin tawa itu tetap terhias di wajahku. Bukan tangis dan air mata yang mengisi sela sepiku.

Aku mengutuk kebodohan diriku berulang kali. Menjatuhkan hati pada seseorang yang terlalu senang mempermainkan hati. Aku berkali-kali menyesali kebodohanku. Menyia-nyiakan waktu hanya untuk seseorang yang semu. Jika setiap kejadian mengenal kata seandainya. Seandainya hari itu aku tak pernah mengenalmu.

Aku pernah bertanya pada waktu, apa tujuan mengirimkan dia dalam cerita hidupku? Di hari lalu, aku bertemu dia. Sosok yang kala itu menjadi sumber kekuatan. Kini menjadi sosok yang kian melemahkan.

Kau dan aku memang tak ditakdirkan berjalan pada garis yang sama. Kamu yang terlalu senang mengacuhkan dan aku yang bersusah payah bertahan. Kamu yang terlalu senang menyalahkan dan aku yang terlalu lelah untuk pembelaan.

Hari-hari lalu selalu terisi dengan candamu. Tak henti-hentinya senyuman menghiasi wajahku. Tak peduli seberat apapun hari yang kulalui, kamu selalu ada di sisi menemani. Kini segalanya berganti. Seakan waktu yang diberikan untuk bersamamu sudah habis. Tak ada lagi tawa yang menghiasi hari, kini berganti dengan pertengkaran yang tiada henti. Aku yang gagal mengerti kamu dan kamu yang terlalu mudah untuk menjauh.

Rasanya percuma, menggapai seseorang yang bahkan sekuat tenaga ia berusaha mendorongku untuk menjauh. Rasanya sia-sia, menatap seseorang yang bahkan tatapannya tidak pernah mengarah kepadaku. Kalau saja setiap kejadian mengenal kata seandainya. Seandainya hati tak pernah jatuh kepadamu.

Lelahku akhirnya menemui ujungnya. Luka yang kau tanam kini kian menimbulkan perih. Aku berhenti. Tidak lagi berusaha peduli padamu. Tidak lagi berusaha menjadi ada dihadapanmu. Mencoba menguatkan hati untuk dapat kembali pulih. Mencoba kembali berdiri dan melangkah pergi. Karena kini aku menyadari, cinta tidak pernah cukup untuk kamu yang tak pandai menghargai.



Minggu, 23 Februari 2020

Hari itu...

"HOI!" Revan menepuk belakang kursiku hingga terdorong ke depan dan membuatku nyaris terjungkal karena terkejut. 
"Apaan sih, Van! Nggak lucu tau nggak." Jawabku setengah sewot dan setengah malas. Hari itu, mood ku benar-benar sangat kacau.
"Ebuset, galak bener sih. Ngapa lo?" Tanya Revan yang kini sudah duduk di meja ku. Kebiasaan Revan seperti itu, tidak peduli meja ku penuh dengan dokumen dan berkas.
"Lo nggak ada info lowongan, Van?" Tanyaku dengan tampang memelas yang tak lepas dari layar laptop, nyaris frustasi.
Revan memperhatikan layar laptopku yang menampilkan file-file lamaran pekerjaan. Dari mulai Curiculum Vitae, ijazah, transkrip dan lain-lainnya yang menjadi syarat formal melamar pekerjaan.
“Mau sampe kapan lo terus-terusan lari, Ra?” Intonasi Revan kini terdengar mengintimidasi.                                                                                        
“Nggak ada yang lari Van, gue cuma mau cari suasana baru aja.” Jawabku sediplomatis mungkin.

“Halah, klasik. Satu-satunya hal yang lo lupa, mata lo nggak pernah bisa bohong, Ra.” Revan tetap bertahan pada argumennya.
“menyembuhkan diri bukan dengan cara terus-terusan lari atau menghindar, Ra. Lo harus bisa belajar menyembuhkan diri di tempat. Mau sampe kapan terus-terusan lari?”
Aku terdiam mendengar ucapan Revan yang beranjak meninggalkan ruanganku. Revan— sahabat dekatku di kantor. Aku tahu semua yang diucapkan Revan benar, bahwa aku sedang berusaha lari untuk menghindari seseorang. Seseorang yang sedang berusaha aku ikhlaskan dengan berbagai cara.

Namun bagiku, usaha untuk melupakan tidak akan berhasil jika aku masih bertemu dengan dia setiap hari di kantor. Mataku menangkap sebuah foto yang terpajang di meja kerja, foto bersama seseorang yang sedang tersenyum. Tiba-tiba ada yang menetes membasahi pipiku. Aku menangis; merindukan seseorang dalam foto tersebut yang memaksaku harus melangkahkan kaki dari kantor tempatku bekerja.

Pikiranku mulai menerawang, mengingat ketika pertama kali menginjakan kaki di kantor ini…

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(lagi mencoba produktif di malam hari, tapi ternyata panjang kalo diposting di sini, yaudah segini aja deh)