“Kamu tahu bahwa kamu mencintai seseorang,
ketika begitu sesuatu yang baik terjadi,
mereka adalah orang pertama yang ingin kamu beri tahu.”
–unknown-
“Kamu sadar bahwa kamu merindukan seseorang,
ketika segala hal terjadi padamu, kamu berharap bahwa ialah yang menemanimu.”
-unknown-
Begitulah
kira-kira kutipan yang pernah kubaca pada feed
instagramku. Aku mengalihkan pikiranku yang masih berputar tentang kamu. Bodoh
rasanya, ketika tengah dikejar oleh pekerjaan, namamu pun turut berlarian dalam
pikiran. Berkali-kali kucoba mengalihkan apapun yang berhubungan tentang kamu,
beribu kali pula bayangmu menyergap memaksa untuk diingat. Kali ini aku harus
tega pada hati, tidak ingin menyiksa diri lebih dari ini. Meski selalu saja
hati dan logika berjalan tidak beriringan. Meski masih saja angan tentang kamu
terwujud hanya dalam mimpi setiap malam.
Dalam sekacau
apapun hariku, kamulah yang selalu kuharap sebagai penenang badai di kepalaku.
Bagaimanapun hari yang kulewati, kamu yang kuharap ada untuk menemani. Meski
kenyataannya aku harus melewatinya tanpa kamu. Bukan dengan kamu.
Bisakah
mengakhiri perasaan tanpa harus ada luka? Aku hanya ingin mengingatmu dengan
tenang, tanpa harus ada perih. Aku hanya ingin mengakhirinya dengan senyuman
tanpa harus ada tangis.
Aku menyesal
telah menjatuhkan hati padamu terlalu cepat, seperti kamu yang mengakhiri
segalanya pun dengan cepat. Aku menyesal terlanjur mencintaimu, ketika aku tak
sekalipun mampu mengutarakan perasaanku padamu.
Aku kalah, bahkan jauh sebelum angkat senjata. Rasanya, semua terasa
sia-sia. Rasanya semua terasa percuma. Kamu ada di hidupku tapi bukan untuk
kumiliki. Dalam sorot mata indahmu, selalu bercerita tentang dia. Dalam angan
dan sadarmu, selalu ada dia. Selamanya itu takkan berubah.
Aku menyerah.
Aku benar-benar kalah. Sekuat apapun harapku, tidak akan membuat aku ada di
matamu. Sekuat apapun inginku, bukan aku yang menjadi utuhmu. Bukan aku yang
menjadi penenang resah dan gelisahmu. Dan bukan aku yang menemani setiap
langkahmu. Mungkin benar aku mencintaimu, ketika aku menyadari saat hal terbaik
terjadi padaku, namamu lah yang terlintas dalam benakku. Mungkin benar aku
merindukanmu, ketika seburuk apapun hari yang kulalui, kamulah yang kuharap ada
di sisi menemani.
Namun kini, aku bersiap
untuk melepasmu. Merelakan segala harap tentangmu untuk tetap menjadi angan.
Mengikhlaskan namamu yang pernah kubisikan pada Tuhan untuk hanya menjadi
kenang.
"Karena inilah pengorbanan terakhirku: membiarkanmu bahagia, tanpa diriku."
(Windhy Puspitadewi)