Selasa, 22 Oktober 2019

Relakan. Agar Hatimu, Tak Lagi Menanggung Luka.

Pernahkah kamu mengenal seseorang yang dulu menjadi salah satu bagian terbaik dalam hidupmu? Seseorang yang dulu tempatmu berbagi keluh kesah, berbagi cerita, berbagi mimpi. Seseorang yang selalu terlintas dalam pikiranmu dalam baik dan buruk harimu. Seseorang yang selalu membuatmu tertawa.

Pernahkah kamu mengenal seseorang yang dalam diamnya ia menyimpan kebencian padamu? Seseorang yang menatapmu saja ia enggan. Seseorang yang mendengar suaramu saja ia merasa terganggu. Seseorang yang sanggup menghancurkan hatimu sedemikian rupa. Seseorang yang selalu berhasil membuatmu meneteskan air mata. 

Pernahkah kamu mengenal seseorang yang dulu terasa begitu dekat hingga kini saling melambungkan harap agar tidak pernah saling mengenal. Dia, sudah menjadi keduanya. Membuatmu tertawa dan membuatmu meneteskan air mata.

Kamu bertanya pada dirimu sendiri, dimanakah letak kesalahanmu hingga kebenciannya tak lagi bisa terbendung. Kamu mencari jawaban kesana kemari agar pedih hatimu terobati. Setelah mengetahui semuanya, kamu menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi. Seolah semua yang terjadi memang benar karena-mu. 

Dia membencimu karena kamu sulit untuk ditundukan. Dia membencimu karena tidak bisa dibentuk sesuai keinginan. Dia membencimu karena kamu sulit diatur, katanya. Dia mungkin lupa bahwa menundukan seseorang bukan dengan kekerasan. Bukan dengan paksaan. Dia mungkin lupa bahwa keras hatinya bisa melukai hatimu. 

Perlakuan dan perkataan tidak baik selalu kau terima, hingga tak ada lagi kata yang bisa terucap. Hanya pedih yang terasa. Hanya kecewa yang dirasa. Kamu menemukan lelahmu selelah-lelahnya. Dia, tak lagi menjadi sosok yang kau kenal. Tatap mata yang penuh kebencian seakan tak menghiraukan kau yang sudah berantakan. 

Mungkin kamu lupa, bahwa kamu bukan sedang melawan dia, melainkan melawan egonya. Berapa banyak hal sudah kamu lakukan untuk mengalah, namun ia tetap tak mau kalah.  Mungkin kamu lupa, tidak perlu memaksa untuk dapat diterima. Yang tulus padamu akan menerima tanpa menuntutmu menjadi seperti yang ia inginkan. Yang tulus padamu akan membebaskan untuk menjadi versi terbaik dari dirimu.

Tak ada lagi yang bisa kau lakukan. Kau hanya ingin dia mengerti, dan dia hanya ingin kau pergi. Tidak apa. Hatimu boleh patah. Air mata mu boleh tumpah. Lepaskan agar hatimu dapat kembali tertawa. Relakan agar hatimu tak lagi menanggung luka.



Jumat, 20 September 2019

Ketika Ego Merayakan Kemenangannya


Aku pernah mengenal seseorang, bahkan mungkin sampai sekarang. Seseorang yang kini setengah mati ingin kubenci, mungkin dengan begitu aku bisa berhenti peduli.

Aku mengenal seseorang, dia yang menjadi alasan dari senyum dan tawaku serta menjadi alasan dibalik sedih dan tangisku.

Aku tak menyangka cerita kita akhirnya menemui ujungnya. Kita yang kini merasa lelah pada akhirnya memutuskan untuk menyerah. Ternyata saling mencintai saja tidak cukup, ketika ego selalu tak pernah mau kalah.

Katamu, pertengkaran adalah cara agar kita dapat saling menguatkan. Meski pada akhirnya kepergianmu tak lagi dapat terelakan. Katamu, pertengkaran adalah cara agar kita lebih saling mengenal, namun akhirnya membuat kita kembali menjadi dua orang asing yang tidak saling mengenal.

Aku rindu hari lalu, ketika tawa lebih sering hadir setiap hari. Aku rindu hari lalu, ketika kamu menjadi sumber kekuatanku.

Hari ini, semua terasa berbeda. Semua terasa asing. Tak ada lagi tegur dan sapa. Saling melambungkan harap agar salah satu diantara kita tak lagi terlihat mata. Kita kalah dengan ego masing-masing. Saling menyalahkan disaat seharusnya adalah mencari apa yang salah. Saling mengacuhkan dengan anggapan dapat menyudahi pertengkaran.

Kita memilih bisu dan mengabaikan temu. Kita memilih kalah bukan mengalah. Kita memilih meninggalkan bukan menyelesaikan. Aku yang gagal mengerti kamu dan kamu yang terburu-buru untuk menjauh. Kita memilih menutup cerita dengan kata menyerah.

Dan di ujung jalan itu, ada ego yang bersorak sorai merayakan kemenangannya. 

                                                                                                            

Kamis, 27 Juni 2019

Sebuah Kesalahan


Ada yang hingga kini tak mampu terucap melalui lisan. Memilih untuk terus bungkam meski pedih harus dirasakan perlahan. Berusaha tetap menampilkan senyum, ketika tangis siap pecah kapanpun. Mencintaimu dalam diam, memang tidak pernah semenyenangkan yang diharapkan.

Bagaimana jika orang yang menjadi alasanmu bertahan sekaligus orang yang menjadi alasanmu untuk pergi melangkahkan kaki? Aku tidak pernah menyangka kamu akan menjadi keduanya, orang yang membuatku tertawa sekaligus yang mampu membuatku meneteskan air mata.

Sejak awal, aku berusaha untuk menjadi ada di matamu. Mencoba menjadi pendengar dari cerita-ceritamu, mencoba menjadi penyemangatmu untuk mewujudkan mimpi dan langkah-langkahmu, mencoba selalu ada di sisi ketika badai menghantam hari baikmu, mencoba mengikuti apa maumu.

Hari lalu, semuanya terasa baik-baik saja. Saat kamu masih menginginkanku ada di sisi, menemani harimu yang penat, berbagi tawa dan cerita mengenai apapun. Hari lalu, kamu masih memintaku untuk bertahan ada di sini.

Hari lalu sudah berlalu. Kamu yang hadir kini seakan bukan lagi kamu di hari lalu, berganti dengan kamu yang tak segan melakukan hal yang menyakitiku secara perlahan. Tanpa sebab kamu memintaku untuk tak lagi berada di sisimu. Tanpa alasan kamu memintaku untuk pergi menjauhimu. Tanpa perasaan kamu membandingkan aku dengan seseorang yang katamu lebih baik dariku. Tak ada kata lagi yang bisa terucap dari mulutku. Yang terasa hanya perih di hati yang akan mengiringi ku pergi.

Aku paham, sejak awal bukan akulah yang menjadi harapmu. Bukan aku yang menjadi inginmu. Dan bukan aku yang selalu menjadi adamu. Aku terlalu buta hingga tak menyadari kamu yang sejak awal ingin berlari. Aku terlalu naif, untuk mengakui bahwa cerita aku dan kamu tidak pernah ada. Aku terlalu bodoh bertahan pada seseorang yang tak pernah menginginkan hadirku.

Aku menyerah. Aku berhenti cukup sampai di sini. Tidak akan ada lagi aku yang selalu mencarimu. Tidak akan ada lagi aku yang mengusik hari-harimu, tidak akan ada lagi aku yang berusaha ada di matamu. Kututup cerita bersamamu hanya sampai di sini. Aku pergi, agar kamu tak perlu merasa terganggu.

Dan kini aku pun sadar, mencintai seorang kamu adalah sebuah kesalahan.

Kamis, 16 Mei 2019

TAK LAGI UTUH


Seharusnya melupakanmu terasa lebih mudah, bukan justru membuat hati terasa luka. Seharusnya menjauhimu terasa lebih mudah, bukan justru membuat hati terasa lara. Di hari lalu, kita pernah berbagi canda tawa, tak henti-hentinya menghiasi wajah dengan senyum masing-masing. Hari ini semua terasa begitu berbeda, kita yang berusaha menjaga jaga jarak satu sama lain, menutup semua cerita seakan tidak pernah ada kita. Kita pernah menjadi keduanya; saling membahagiakan kemudian saling melupakan.

Di hari lalu, senyum mu selalu menghiasi hariku. Senyum yang selalu hadir di pengujung hari lelahku. Dalam sedih dan bahagia ku, sosokmu yang selalu kucari sebagai teman berceritaku. Hari itu, kamu menjadi alasan dibalik senyum dan tawaku. Hari itu, kamu pernah menjadi alasan terbaikku. Hari ini, kata terkunci dalam kebisuan masing-masing. Tak ada lagi tegur sapa serta tawa bersama. Kita saling menjauhi. Membangun sekat demi sekat agar tak lagi berdekat. Lalu aku menyadari, ada bagian yang terambil saat tidak lagi ada kamu dalam hariku.

Rasanya tak lagi sama, rasanya sungguh berbeda. Tatap mata yang dulu terasa teduh, kini berpaling berusaha tak ada lagi temu. Senyum yang dulu sebagai penenangku, kini berganti raut acuh yang selalu kamu tunjukan. Lalu aku menyadari, ada sesuatu yang hilang saat tidak lagi ada kamu.

Aku merindukanmu. Merindukan caramu tersenyum, merindukan caramu bercerita, merindukan segala tingkahmu untuk membuatku tertawa. Aku merindukanmu. Merindukan hari yang pernah kita warnai, merindukan waktu yang pernah kita bagi, merindukan tawa yang hanya tercipta berdua.

Namun, mungkin lebih baik seperti ini. Terus berjalan saling menjauhi meski hati kian menjerit. Mungkin sebaiknya begini. Terus menjaga jarak meski langkah tersendat. Tanpa penjelasan, tanpa alasan, tanpa kata perpisahan dan tanpa ucapan selamat tinggal, kita menutup cerita tanpa sepatah kata terucap. Memulai cerita dengan senyuman dan menutup cerita dengan tangisan. Memulai dengan langkah bersama dan mengakhiri dengan langkah saling melupakan. Meski aku menyadari, ada bagian yang terambil saat kamu pergi melangkahkan kaki.

Lalu, aku menyadari bahwa aku menyayangimu. Dan di detik ini aku menyadari, bahwa hatiku tak lagi utuh.

Selasa, 30 April 2019

Bagaimana Jika Tidak Ada Hari Esok?

Aku tidak mengerti bagaimana konsep hati bekerja. Masih mencintai satu nama yang susah payah ingin kulupa. Meski aku sadar, melupakanmu hanyalah sebuah kesia-siaan. Aku paham, melupakanmu tidak semudah mengucapkan selamat tinggal.

Mencintaimu membawa warna baru dalam hidupku. Membawa rasa baru serta pemanis dalam setiap hari. Meskipun mencintaimu tak lepas dari berbagai emosi bermain di dalamnya. Mencintai sosokmu yang menyebalkan sekaligus menyenangkan dalam satu waktu.

Dalam diamku selalu terputar cerita bersamamu. Tentang bagaimana kita berbagi tawa tentang apa saja. Tentang aku yang selalu ingin mengganggumu di sela waktu luangku. Tentang bagaimana kita berbagi cerita mengenai apa saja, hingga bertengkar untuk sekedar alasan sederhana. Terkadang, kamu begitu menyenangkan. Tak henti-hentinya selalu berhasil membuat senyumku mengembang. Namun di satu waktu, kamu bisa menjadi sosok yang menyebalkan. Tak pernah gagal membuat hatiku terasa pilu.

Aku menyukai setiap waktu bersamamu. Waktu yang tak akan kutukar dengan apapun. Waktu yang merekam dengan sempurna setiap detail raut wajah tenangmu ketika sedang memetik gitar. Lalu, terbesit tanya dalam hati, bagaimana jika tak ada lagi hari esok bersamamu? Tak ada lagi kamu yang kucari dalam senyum dan tangisku. Tak ada lagi kamu yang dalam marahnya masih menyimpan perhatian. Tak ada lagi kamu yang membujukku ketika sedang marah padamu. Tak ada lagi petikan gitarmu yang menenangkan. Tak ada lagi raut wajah kerasmu yang selalu kuperhatikan diam-diam.

Dalam hening aku menyadari, mencintaimu membuatku belajar tentang banyak hal. Tentang bagaimana mengalahkan ego diri sendiri demi mempertahankan senyum dan tawa bersama setiap waktu. Bukan memberi makan ego yang berakhir saling mengabaikan. Mencintaimu membuatku sadar, bahwa bahagia memang tidak harus berjalan di garis yang sama.

Dalam diam, aku masih menitipkan sebuah harap, semoga kamu paham, satu nama sudah memiliki ruang tersendiri dalam hati; itu kamu. Bagaimana jika tidak ada lagi hari esok bersamamu? Aku akan tetap tersenyum mengingatmu sebagai salah satu cerita terbaik dalam perjalanan hidupku. Sebab aku mencintaimu tanpa alasan. Dan menyayangimu tanpa karena. 

Rabu, 17 April 2019

JATUH CINTA KEMBALI



Katanya, setiap orang pasti memiliki fase patah hati terhebat dalam hidupnya. Entah bagaimana ia melaluinya hingga berhasil sembuh dari luka paling hebat di hatinya. Entah bagaimana hingga akhirnya ia mampu kembali berjalan setelah hampir tertatih bahkan tak mampu berdiri. Entah bagaimana hingga akhirnya ia mampu membuka hati dan siap jatuh cinta kembali.

Setiap orang memiliki kisahnya sendiri. Cara ia berdamai dengan hati, keadaan dan kisah di masa lalunya. Setiap orang memiliki kisahnya sendiri, entah itu berakhir bahagia atau berakhir dengan melepaskan. Aku pun memiliki kisahnya tersendiri, ketika bertemu seorang kamu…

Aku tidak pernah menyangka, bahwa kamu lah yang menjadi obat dari luka di hari lalu. Dengan caramu sendiri mampu membuatku kembali berdiri. Menutup satu persatu luka hingga kembali menjadi utuh. Dengan apa adanya kamu mampu membuatku kembali berjalan. Menutup semua cerita lalu meninggalkannya jauh di belakang.

Mengenalmu membuatku kembali merasa hidup. Ketika melihatmu kembali menghadirkan tawa. Ketika bersamamu kembali membuatku memiliki harap. Mengenalmu memberi warna baru dalam hariku. Alasan dibalik setiap senyumku. Alasan dibalik bahagiaku.

Aku tersenyum, tiap kali kamu sedikit demi sedikit mulai membagi duniamu. Mengijinkanku memasuki duniamu yang tak bisa kamu bagi pada semua orang. Mempersilakanku untuk mengetahui sisi lain dirimu yang tak bisa kamu tunjukan pada semua orang. Aku tersenyum, mengingat saat kita saling berbagi mimpi. Saling meyakinkan disaat ragu menghampiri. Saling menguatkan disaat langkah terasa letih.

Aku ingin merekam segala tentangmu dalam ingatan, jika tiba saatnya jalan kita kembali bersimpangan. Aku ingin mengabadikanmu lewat tulisan, agar tentangmu selalu dapat kukenang.

Terima kasih karena kamu membuatku sembuh dari patah. Terima kasih untuk kembali menumbuhkan rasa yang sempat ku kubur dalam-dalam. Terima kasih membuatku kembali percaya bahwa selalu ada pertemuan di setiap perpisahan. Terima kasih telah menyembuhkan luka dan membuatku kembali merasakan cinta.

Kita Yang Tak Sama



Apa yang menyakitkan dalam sebuah hubungan? Iya, jarak. Entah itu ketika jarak dalam arti yang sebenarnya atau bukan. Namun, benar kata orang. Jarak terjauh dalam sebuah hubungan bukanlah jarak perbedaan kota atau Negara, melainkan jarak perbedaan keyakinan dan tempat ibadah. Perbedaan yang tak bisa lagi dilalui, perbedaan yang tak mungkin bisa di tembus. Sebesar apapun harapku, tetap bukan aku yang menjadi jalanmu. Antara aku dan kamu yang tak bisa berjalan kemana-mana meskipun berada dalam rasa yang sama.

Sejak awal, kita hadir dalam sekat masing-masing. Sekat yang berdiri kokoh, sakral, tanpa bisa di bantah. Sekat yang membuat kita tetap berada pada garis batas yang jelas dan lingkaran masing-masing tanpa bisa melewatinya. Sejak awal kita tahu itu.

Kata orang kita berbeda. Kata orang kita tidak sama. Kata orang itu akan percuma. Kata orang kita tidak pantas berdekekatan hingga rasa itu kian tumbuh. Sejak awal, aku menyadari itu. Ketika aku dan kamu hadir dalam rasa yang sama. Ketika aku dan kamu terlahir dalam segala perbedaan. Ketika aku dan kamu tidak akan menjadi utuh. Ketika aku dan kamu jauh dari kata satu.

Mengapa Tuhan hanya mempertemukan tanpa berniat menyatukan? Mengapa dalam urusan hati kita tidak tahu pada siapa akan menjatuhkan hati? Kadang, pertanyaan itu menyelinap di sela usahaku melupakanmu. Aku mencintaimu tanpa rencana. Aku menyayangimu tanpa alasan.

Melalui kamu, Tuhan mengajari arti mencintai. Tidak lagi perihal memiliki, namun keikhlasan saling menemani meski kelak saling melangkah di jalan yang berbeda. Melalui kamu, Tuhan mengajariku tentang cinta, bukan hanya perihal dalam rasa yang sama, namun menemukan dan ditemukan oleh orang yang tepat dan menghentikan pencarian. Melalui kamu, Tuhan membuatku paham bahwa bahagia tidak harus bersama.

Namun, cinta tetaplah cinta meski hadir dalam dua jiwa yang berbeda tempat ibadah. Karena sebaik-baiknya cinta adalah menguatkan meski pada akhirnya harus melepaskan. Pada akhirnya kita akan berjalan pada garis masing-masing. Pada akhirnya kita akan menemukan satu; dia yang akan menetap dan menghentikan pencarian.

Senin, 25 Maret 2019

(Masih)


Lagi-lagi masih perihal kamu. Sosok yang masih membuat jari-jariku menari membentuk kata demi kata. Sosok yang masih sama dalam kesederhanaan. Sosok yang masih sama dengan sikap cueknya. Sosok yang masih sama selalu berhasil membuatku tersenyum. Aku tidak tahu, apa yang istimewa dari sosok seorang kamu. Sosok yang masih berhasil mengunci segala perhatianku sejak pertama bertemu.

Semakin lama, aku semakin terbiasa dengan segala sikap dinginmu. Yang membuat sisi usilku justru semakin tergelitik untuk terus mengganggumu. Aku ingat sore itu, ketika entah bagaimana aku terus mengoceh disampingmu tanpa mempedulikan kamu akan terganggu dengan segala tingkahku. Diam-diam aku melihatmu sesekali menahan senyum sambil melirik ke arahku. Berbagi tawa denganmu selalu menyenangkan. Berbagi cerita denganmu seakan membuat semuanya terasa ringan.

Kamu—sosok yang sangat tertutup. Tidak pernah menceritakan siapa dirimu, tidak mencoba menunjukan siapa dirimu, tidak membiarkan sembarangan orang mengetahui siapa kamu. Kamu—masih sama seperti pertama bertemu. Sosok yang keras kepala dan terkadang sangat menyebalkan. Namun, kamu tetaplah kamu. Sosok yang terus menggenggam mimpi hingga satu persatu mulai terpenuhi. Entah mengapa, itulah alasan yang membuat hatiku terpatri pada seorang kamu.

Diam-diam aku tetap mengagumimu. Mengagumi bagaimana caramu memandang hidup, mengagumi bagaimana caramu berfikir; meski tidak sedikit pula kita selalu bertengkar karena berbeda pikiran. Tidak apa-apa rasanya, ketika bertengkar denganmu membuatku semakin paham tentang kamu.

Diam-diam aku masih menyukaimu. Menyukai bagaimana caramu tersenyum, menyukai bagaimana caramu tertawa, menyukai bagaimana caramu bercerita, dan menyukai bagaimana caramu menatap. Aku menyukai setiap waktu bersamamu. Bahkan disaat tidak sepatah kata pun keluar dari mulutmu, cukup kamu berada disampingku, itu mampu membuatku merasa tenang. Aku menyukai saat bersamamu. Memanfaatkan waktu yang tersisa untuk merekam setiap cerita tentang kamu.

Diam-diam aku masih memiliki harap yang sama. Melambungkan segala harap agar masih bisa bersamamu sedikit lebih lama. Diam-diam, aku masih mencintaimu. Dan mereka, tak perlu tahu.

Rabu, 23 Januari 2019

Tidak Akan Menjadi Ada


Rasanya semakin menjauh. Rasanya semakin berbeda. Rasanya semakin asing. Aku yang berusaha mendekat, pun kamu yang berusaha menyekat. Aku yang berusaha bersisian, pun kamu yang berusaha menyisihkan. Segala upaya yang kulakukan, hanya pengabaian yang kudapatkan. Kadang, lelah seringkali datang. Kadang aku berharap dapat menyudahi perasaan semudah mengucapkan selamat tinggal.

Bagaimana rasanya jatuh cinta pada seseorang yang menolak kehadiranmu? Bagaimana rasanya jatuh cinta pada seseorang yang selalu mengabaikanmu? Dan bagaimana rasanya jatuh cinta pada seseorang yang tidak bisa menghargai adamu? Bagaimana rasanya? Menyakitkan bukan?

Kadang, kamu sering lupa bahwa tiap kali perkataan yang kamu ucapkan selalu meninggalkan luka. Mungkin kamu lupa, tiap kali sikap yang kamu tunjukan sering kali menimbulkan duka. Mungkin kamu tidak tahu, bahwa orang di hadapanmu pun masih memiliki perasaan untuk di jaga.

Aku menyerah. Tidak lagi berharap menjadi ada di hadapanmu ketika yang kudapat hanyalah ketiadaan. Segala upaya dan harap sudah kamu hancurkan dalam sekejap. Untuk apalagi kupertahankan ketika yang kudapatkan hanyalah luka.

Mungkin benar, menjatuhkan hati padamu adalah sebuah kesalahan. Mungkin benar, mencintai seorang kamu adalah kekalahan. Mungkin benar, sekeras apapun usahaku tidak akan menjadikan aku ada. Karena sebenar-benarnya cinta ialah yang pandai menghargai.