Rabu, 19 Desember 2018

Aku Yang Telah Kalah



“Kamu tahu bahwa kamu mencintai seseorang, ketika begitu sesuatu yang baik terjadi, mereka adalah orang pertama yang ingin kamu beri tahu.”
–unknown-

“Kamu sadar bahwa kamu merindukan seseorang, ketika segala hal terjadi padamu, kamu berharap bahwa ialah yang menemanimu.”
-unknown-

Begitulah kira-kira kutipan yang pernah kubaca pada feed instagramku. Aku mengalihkan pikiranku yang masih berputar tentang kamu. Bodoh rasanya, ketika tengah dikejar oleh pekerjaan, namamu pun turut berlarian dalam pikiran. Berkali-kali kucoba mengalihkan apapun yang berhubungan tentang kamu, beribu kali pula bayangmu menyergap memaksa untuk diingat. Kali ini aku harus tega pada hati, tidak ingin menyiksa diri lebih dari ini. Meski selalu saja hati dan logika berjalan tidak beriringan. Meski masih saja angan tentang kamu terwujud hanya dalam mimpi setiap malam.

Dalam sekacau apapun hariku, kamulah yang selalu kuharap sebagai penenang badai di kepalaku. Bagaimanapun hari yang kulewati, kamu yang kuharap ada untuk menemani. Meski kenyataannya aku harus melewatinya tanpa kamu. Bukan dengan kamu. 

Bisakah mengakhiri perasaan tanpa harus ada luka? Aku hanya ingin mengingatmu dengan tenang, tanpa harus ada perih. Aku hanya ingin mengakhirinya dengan senyuman tanpa harus ada tangis.

Aku menyesal telah menjatuhkan hati padamu terlalu cepat, seperti kamu yang mengakhiri segalanya pun dengan cepat. Aku menyesal terlanjur mencintaimu, ketika aku tak sekalipun mampu mengutarakan perasaanku padamu.  Aku kalah, bahkan jauh sebelum angkat senjata. Rasanya, semua terasa sia-sia. Rasanya semua terasa percuma. Kamu ada di hidupku tapi bukan untuk kumiliki. Dalam sorot mata indahmu, selalu bercerita tentang dia. Dalam angan dan sadarmu, selalu ada dia. Selamanya itu takkan berubah.

Aku menyerah. Aku benar-benar kalah. Sekuat apapun harapku, tidak akan membuat aku ada di matamu. Sekuat apapun inginku, bukan aku yang menjadi utuhmu. Bukan aku yang menjadi penenang resah dan gelisahmu. Dan bukan aku yang menemani setiap langkahmu. Mungkin benar aku mencintaimu, ketika aku menyadari saat hal terbaik terjadi padaku, namamu lah yang terlintas dalam benakku. Mungkin benar aku merindukanmu, ketika seburuk apapun hari yang kulalui, kamulah yang kuharap ada di sisi menemani.

Namun kini, aku bersiap untuk melepasmu. Merelakan segala harap tentangmu untuk tetap menjadi angan. Mengikhlaskan namamu yang pernah kubisikan pada Tuhan untuk hanya menjadi kenang.

"Karena inilah pengorbanan terakhirku: membiarkanmu bahagia, tanpa diriku."

(Windhy Puspitadewi)

Sabtu, 08 Desember 2018

Mencintai Seorang Kamu.


Mencintai seorang kamu seakan membawaku memasuki dunia baru. Mencoba memahami setiap sikapmu, arti sorot matamu, senyum tawamu, diam dan marahmu. Mencintai seorang kamu ibarat menyusun sebuah puzzle yang tiap-tiap potongannya di sembunyikan entah dimana. Kamu yang sulit ditebak, kamu yang selalu coba untuk kupahami, kamu yang terlalu dalam sehingga sulit untuk kuselami.

Rasanya sulit mencintai seorang kamu. Ketika aku padamu sepenuhnya, sedangkan kamu padaku seadanya. Mencintai seorang kamu seakan membuatku berjalan di atas pecahan kaca, yang setiap langkahnya hanya akan menimbulkan luka. Kamu yang terlalu asyik berlari, hingga tak menyadari langkahku yang kian tertatih. Kamu yang terlalu senang di kejar, hingga tak menyadari langkahku yang kian melemah.

Terkadang, lelah sering kali datang. Untuk apalagi kuperjuangkan ketika yang kudapat hanyalah kesia-siaan. Untuk apalagi kuteruskan ketika yang terjadi hanya menimbulkan kesalahpahaman. Aku yang gagal mengerti kamu, dan kamu yang tak pernah mengijinkanku memasuki sisi hatimu. Sebesar apapun harapku, tetap bukan aku yang menjadi inginmu.

Jika suatu saat kamu membaca tulisanku, ketahuilah satu hal. Meski aku yang gagal mengetuk pintu hatimu, tapi kamu sudah berhasil mengisi sisi hatiku. Aku tahu, tidak ada yang lebih sulit dari mencintai seorang kamu. Namun ternyata jauh lebih sulit untuk mengakhiri perasaan pada seorang kamu.

Kini aku berhenti. Menghentikan langkah menujumu hanya cukup sampai di sini.

Rabu, 21 November 2018

Kita yang Sebatas Pernah.


Ada yang berubah. Ada yang tak lagi sama. Tiba-tiba semua terasa berbeda. Tiba-tiba semua terasa asing. Kamu, tidak lagi menjadi sosok yang kukenali. Tatap mata yang dulu terasa hangat kini menghilang entah kemana. Kamu hadir seolah membawa sejuta harap. Kini, kepergianmu hanyalah mematikan harap. Sejak mengenalmu, aku semakin yakin bahwa cinta adalah permainan yang menyakitkan.

Sejak awal, kamu dan aku memang tak mungkin menjadi kita. Ketika harapan terlalu jauh dari kenyataan. Ketika takdir tak berpihak pada keinginan. Kamu yang terlalu cepat berlari untuk mengakhiri dan aku yang masih berdiri di sini berusaha kembali menata hati. Terkadang, tidak ada gunanya menahan seseorang yang sudah memutuskan untuk pergi. Kali ini aku kalah. Aku benar-benar menyerah.

Dulu, aku tidak pernah berpikir akan menjatuhkan hati padamu. Seseorang yang keras sekaligus berhati lembut. Seorang yang tertutup yang sedikit demi sedikit mulai membuka diri; menceritakan tentang mimpi, cita, keinginan serta harapanmu.  Seseorang yang mampu membuatku tersenyum tiap kali kamu berada di sampingku. Seseorang yang selalu terlihat damai ketika memetik gitar. Seseorang yang masih kusemogakan meski dalam ketidakmungkinan. Apapun tentang kamu, berhasil mengunci seluruh perhatianku. Segala tentang kamu, masih menjadi alasan dibalik senyum, bahagia, dan kecewaku.

Kita pernah begitu dekat, sebelum akhirnya kenyataan membuat kita bersekat. Kita pernah berbagi mimpi, sebelum akhirnya kamu memutuskan untuk pergi. Tanpa kata perpisahan, tanpa ucapan selamat tinggal. Kamu memilih mengakhiri kisah sendiri tanpa mempedulikan akan ada hati yang tersakiti. Kamu mulai melangkahkan kaki disaat aku terlanjur melabuhkan hati. Dan kamu, menutup rapat cerita yang pernah kita mulai berdua. 

Everything happens for a reason. Termasuk sebuah pertemuan. Begitupun pertemuan denganmu. Kamu mengajariku satu hal, ketika kita berharap sangat dalam artinya kita harus siap kecewa sangat dalam pula. Ketika kita mencintai seseorang artinya kita mempertaruhkan hati untuk siap terluka. Karena dalam cinta, tidak ada jaminan untuk tidak tersakiti atau menyakiti, terluka ataupun melukai. Tidak ada yang salah memang, karena kita tidak bisa menentukan kapan dan pada siapa hati kita akan tertuju.

Kini, kita yang pernah dalam harapan yang sama hanya menyisakan kita yang hanya sebatas pernah. Pernah mencintai namun terlukai. Pernah melambungkan harapan yang kemudian terpatahkan. Pernah berusaha menyatukan ingin namun terhalang oleh takdir. Dan pernah menetap sebelum akhirnya saling melepas.

Selasa, 13 November 2018

Papa

Papa. Satu kata beribu makna. Satu sosok dengan kasih sayang yang tak bisa aku ungkapkan dengan kata. Seseorang yang banyak mengajariku tentang arti kehidupan. Jika aku di tanya siapa sosok laki-laki  yang paling aku sayang, dengan lantang aku akan menjawab; Papa, Malaikat Pelindungku.

Papa bukanlah tipe ayah yang romantis. Dibalik kecuekannya, ia peduli. Sosok yang selalu aku cari dalam bagaimanapun keadaanku, sekaligus sosok yang selalu siap menangkapku di saat aku sudah tidak mampu berdiri. Sosok yang rela melakukan dan mengorbankan apapun agar aku bisa berdiri di titik ini. Sosok yang selalu percaya pada setiap mimpi, cita dan harapanku. Sosok yang membuatku berjanji pada diri sendiri untuk tidak sekali pun mengecewakannya.

Hidup tidak selalu berjalan mudah. Jatuh bangun harus kulalui. Tangis, kecewa, kegagalan harus kuhadapi. Namun, dalam sekacau apapun keadaanku, papa selalu ada di sampingku, meyakinkanku untuk tidak menyerah, menguatkanku untuk tidak melemah. Papa; orang yang selalu membuatku mengambil pilihan maju, ketika keadaan memaksa ku untuk mundur.

Hari berlalu. Berkat perjuangan dan pengorbananmu, putri kecilmu kini sudah dewasa. Memasuki hidup yang sesungguhnya, menjalani kehidupan yang sebenarnya. Kesabaranmu menuntunku untuk tidak menyerah, percayamu membuatku mampu membuktikan bahwa aku bisa. Dalam jauh ataupun dekat, doamu tak pernah lepas menjagaku. Dalam setiap langkah kakiku, doamu selalu bersamaku.

Terbayang memori sewaktu kecil. Saat engkau mengantarku ke sekolah dengan menggunakan sepeda. Saat itu, aku bisa menghabiskan waktu lebih lama denganmu. Ketika kesibukanku belum menjadi alasan dari sulitnya bertemu. Terbayang saat setiap malam kita selalu berdiskusi tentang banyak hal; hukum dan politik adalah topik favoritmu. Namun kini, untuk sekedar bertukar cerita saja terasa sulit. Aku rindu saat masih bisa menghabiskan banyak waktu denganmu.

Papa, putri kecilmu kini sudah dewasa. Namun, itu tidak berarti membuatku kehilanganmu, karena bagaimanapun keadaanku, kau selalu ada di belakangku. Mendampingi, menemani, dan melindungi. Papa, betapa bersyukurnya aku menjadi putrimu. Meski melewati masa kecil yang berat, namun kini berhasil menjadikanku pribadi yang kuat. Papa, terima kasih untuk cinta yang tak pernah habis. Untuk pengorbanan yang mungkin takkan bisa kubalas dengan apapun.

Doaku hanya satu, semoga dalam perjalanan hidupku, tidak sekalipun aku membuatmu kecewa.

Kamis, 08 November 2018

Tidak Perlu Menjauh. Aku Sudah Tahu Bagaimana Cara Berjalan Mundur.


Kata orang, tulisan bisa lebih jujur dalam bercerita, ketika kata tidak mampu terucap. Kata orang, tulisan mampu mewakili hati ketika kata yang terucap seakan tidak ada gunanya.  Maka kali ini kupilih mengabadikanmu dalam tulisan. Lewat susunan kata yang membentuk cerita bukan perkataan yang berakhir sia-sia.

Aku percaya konsep waktu. Bahwa dalam hidup waktu selalu menghadirkan orang-orang dengan tujuannya masing-masing, dengan pelajarannya masing-masing, dan memiliki peran masing-masing. Dan setiap orang yang hadir dalam hidup pun memiliki batas waktunya masing-masing.

Begitupun perihal kamu. Mengenalmu membuatku belajar tentang banyak hal. Tentang mimpi, harapan, dan kehidupan.  Kamu, yang kupilih sebagai teman berceritaku. Kamu yang selalu berkata salah jka aku memang salah. Kamu yang selalu menghibur dengan segudang tingkah ajaibmu. Dan kamu yang selalu kuharapkan ada dalam sekacau apapun hari yang kulalui.  Dulu, memang terasa begitu. Ketika dekat denganmu saja sudah cukup membawa kebahagiaan. Dulu, semua memang begitu. Ketika tawa tak pernah lepas menghiasi wajahku. Kala itu, kamu menjadi alasan di balik setiap senyumku. Kala itu, kamu yang menjadi alasan dibalik bertahanku. Kala itu, harapku sederhana; semoga waktu bisa berputar sedikit lebih lama saat aku bersamamu. Saat semua belum berubah.

Namun, waktu berputar terlalu cepat tanpa pernah berkompromi.  Hari itu kamu berubah. Hari itu kamu berbeda dan hari itu kamu menjauh. Hari itu kamu menganggapku tak kasat mata. Dan hari itu pula aku tak henti-hentinya menyalahkan diri sendiri atas kesalahan yang kulakukan. Atas luka yang tanpa sengaja telah kutorehkan. Atas luka yang membuatmu kecewa.
Mungkin darimu, waktu ingin mengajariku tentang kehidupan. Mengakui setiap kesalahan, menerima setiap kekalahan. Mungkin darimu, waktu membuatku sadar, bahwa kehilangan seseorang yang berarti, harus siap pula untuk kehilangan setengah hati.

Kini, kita kembali menjadi dua orang asing yang seolah tidak saling mengenal. Tidak saling menyapa.  Berusaha melupakan bahwa hari lalu pernah ada, berusaha menganggap bahwa cerita lalu tidak pernah ada. Tahukah kamu, melihatmu menjauh adalah siksa bagiku? Tahukah kamu, bagaimana rasanya mendengar ketika kamu berkata bahwa kita tidak lagi bisa dekat? Bahwa secara tidak langsung kamu mengisyaratkan untuk kita lebih baik saling menjauh. Mungkin ini mudah bagimu, namun terasa menyiksa untukku. Jika aku bisa memutar waktu kembali, aku berharap agar hari itu tidak pernah terjadi. Hari dimana aku mengenalmu yang pada akhirnya pun memilih untuk berlalu.

Kamu tidak perlu menjauh. Karena kini, aku sudah tahu bagaimana caranya berjalan mundur.

Sabtu, 20 Oktober 2018

Teruntuk Kamu

Pertemuan kita yang secara tidak disengaja kembali berputar dalam ingatan. Kamu dengan sikap dinginmu, kamu dengan kecuekanmu berhasil mengunci perhatianku sejak hari pertama kita bertemu. Aku yang tidak berani mendekat, pun tidak berani menyapa karena sikap tak bersahabat yang selalu kamu tunjukan. Rasanya lucu, jika kamu yang tidak pernah bersikap ramah padaku, mampu menyita seluruh pikiranku. Sejak saat itu, aku selalu melambungkan harap agar bisa setidaknya mengenalmu lebih dekat... 

Hari itu, waktu sedang berbaik hati padaku, memberiku kesempatan untuk bisa mengenalmu lebih dekat. Mendapat waktu untuk bisa mengobrol dan bercerita denganmu. Mendapat kesempatan untuk menjadi pendengar dari cerita-ceritamu, tentang mimpi, cita, dan harapan yang diam-diam aku meng-aamiin-kannya dalam bentuk doa untukmu. Sejak hari itupun, kupercayakan segala cerita-ceritaku padamu. Bisa berbagi cerita padamu saja rasanya sudah cukup bagiku, tak perlu ku berharap lebih. 

Kadang, aku tidak mengerti dengan konsep hati dalam menyukai seseorang. Kamu yang tidak memiliki satupun yang menjadi tipe kriteriaku tapi berhasil membuatku menjatuhkan hati. Benar kata orang, ‘kriteria tidak akan berarti ketika kita jatuh cinta tanpa alasan.’ Aku menyukaimu dengan segala sikap menyebalkanmu. Bahkan, disaat kamu marah padaku tanpa kutahu apa penyebabnya. Atau ketika kamu terlihat dekat dengan teman wanitamu, saat itu kamu terlihat sangat menyebalkan di mataku.  

Namun, aku tetap menyukaimu. Menyukai caramu menatap, caramu tersenyum, caramu berbicara atau bercerita, caramu antusias terhadap suatu hal, hingga caramu berpikir. Memperhatikanmu dalam diam, melihat semua yang kamu lakukan setiap hari. Bohong, jika kubilang aku tidak tersenyum membayangkannya, karena faktanya cerita bersamamu adalah yang selalu ku putar ulang sebagai penutup hari lelahku. Menyukaimu dalam diam saja, sudah cukup bagiku, tak perlu ku berharap lebih. 

Jurang perbedaan jelas terbentang diantara kita yang takkan mungkin bisa kita lewati. Perbedaan yang membuatku berusaha keras mematikan segala rasa yang aku punya untukmu. Bagaimanapun inginku, bagaimanapun harapku, tetap bukan aku yang menjadi jalan yang kamu tuju.  

Teruntuk kamu, dari sini aku selalu mendoakan yang terbaik untuk segala mimpi, cita, dan harapanmu. Meng-aamiin-kan dalam doa untuk apapun yang menjadi rencana dalam langkah-langkahmu. Terima kasih sudah singgah dalam cerita perjalanan hidupku. Mengisi banyak senyum, tawa, dan cinta. Kelak, jika sudah saatnya untuk kita berpisah, aku akan berterima kasih pada waktu yang telah memberi kesempatan padaku untuk mengenalmu. Kamu, terima kasih.