Aku pernah mengenal seseorang. Bahkan
mungkin masih kukenal hingga kini. Seseorang yang setengah mati ingin kubenci.
Seseorang yang susah payah kucoba untuk tak lagi peduli. Kamu, yang hingga kini
masih terpatri dalam pikiranku.
Aku mencoba membuka kenangan lembaran
demi lembaran hari yang pernah kulalui bersamamu. Mengingat setiap kenangan
yang merekam segala tentangmu. Bohong rasanya jika kini kukatakan bahwa aku
baik-baik saja.
Kumulai membuka lembar pertama, saat
aku mengenalmu. Mengenal sosokmu yang begitu dingin dan tertutup. Bagai dinding
berlapis baja, pertahananmu sulit untuk kutembus. Pelan-pelan, kau mulai
membuka diri. Membiarkanku memasuki duniamu. Saat itu terasa membahagiakan. Senyum
tak lepas dari bibirku setiap hari. Melihat sisi lain dirimu yang tak bisa kau
tunjukan di depan banyak orang.
Aku membuka lembar berikutnya, masih
terisi dengan berbagai kisah manis yang mengingatnya saja bisa membuatku
tersenyum. Kita yang kala itu masih menertawakan hal yang sama, masih berbagi
kisah tentang apa saja, dan sesekali berdebat hanya karena perbedaan pendapat. Kamu
yang sering memaksaku untuk mendengarkan lagu-lagu kesukaanmu meski sering kali
aku mengeluhkan seleramu yang terlalu tua. “Justu ini yang menginspirasi,”
katamu kala itu sambil tersenyum penuh kemenangan karena melihatku hanya bisa
pasrah dan terpaksa ikut mendengarkan.
Aku teringat ketika kamu yang
menenangkanku disaat kepanikan melanda ketika aku harus memutus kontrak
karyawan; karena kamu tahu aku paling tidak suka menyampaikan berita buruk. Pernah
juga suatu waktu, kamu menceritakan kekecewaan yang tak bisa kamu ceritakan
pada siapapun. Kamu yang hanya bisa bercerita kepadaku, menumpahkan segala
kemarahanmu, mengekspresikan semua kekecewaanmu. Tidak ada yang mengerti kamu
sebaik aku. Tidak ada yang mampu menenangkanku selain kamu.
Lembar selanjutnya mulai terlihat
kusam. Halaman yang berisikan kekecewaan. Lembar kebahagaiaan yang membuatku
tersenyum seakan tidak lagi bermakna. Sejak awal kita tak benar-benar berjalan
pada garis yang sama. Kita yang terlalu terlena hingga tanpa sadar memaksakan
agar tetap dapat berjalan di garis yang sama. Kita yang berbeda dalam menyebut
nama Tuhan, namun berusaha selalu ada tiap kali kita saling membutuhkan.
Hingga satu hari secara tiba-tiba kau
berkata bahwa aku menghalangi serta menjadi penghambat hidupmu. Kau ingin agar
aku menjauh darimu. Bagai petir di siang terik, kau hancurkan hatiku tanpa
sisa. Benar, tidak ada yang lebih menyakitkan dari dikecewakan oleh orang yang
dianggap tak akan pernah menyakiti.
Aku menarik seratus langkah menjauh darimu.
Kau kembali membangun tembok setinggi-tingginya. Tidak ada lagi cerita manis
seperti di hari lalu. Tidak ada lagi tawa yang kita bagi diujung hari. Tidak
ada lagi celah meski untuk sebatas menyapa. Kita memilih dan kembali menjadi
asing. Katamu, itu cara agar kita bisa kembali pada garis masing-masing.
Katamu, itu cara agar kita bisa saling melupa. Katamu, itu cara agar aku bisa
kembali bahagia. Dan katamu, itu cara agar aku bisa membencimu. Kemudian di
lembar ini, ada dia—yang kau perkenalkan untuk mengisi duniamu. Dia—yang
beribadah di tempat yang sama denganmu.
Kini, hari-hari yang kulalui tak lagi
terasa berwarna. Pertengkaran demi pertengkaran menghapus semua tawa di hari
lalu. Tatap hangatmu yang dulu menenangkan kini berganti dengan sorot mata
penuh kebencian. Aku melewati malam-malam yang buruk. Kenangan bersamamu sering
kali menghantam bertubi-tubi. Tak pernah kusangka, meninggalkanmu akan
semenyakitkan ini. Aku seakan tak lagi mengenali diriku. Senyum yang dulu
selalu terhias di bibirku, kini berganti air mata yang siap tumpah kapanpun. Tak
bisa kah kita berpisah tanpa harus saling membenci?
Menjauhimu memang tak pernah terasa
mudah. Kau ada di hidupku, tapi tidak untuk kumiliki. Berkali-kali aku harus
membunuh rindu yang tersembunyi ketika mata kita bertemu. Aku ingat satu hari
di masa lalu, ketika kita masih membagi tawa yang sama, bukan kini kita yang
saling berlomba siapa yang paling unggul perihal menorehkan luka.
Hari demi hari kulalui dengan sulit.
Berusaha merelakanmu memilih dia yang kelak mendampingi hidupmu. Merelakanmu
membagi tawa dan cerita di ujung hari lelahmu, yang bukan dengan aku. Merelakan
segala kenangan mengabur bersama langkahmu yang kian menjauh.
Kubuka lembar terakhir. Hidup harus
terus berlanjut. Aku berusaha menguatkan hati berkali kali. Mencoba berdamai
dengan keadaan meski menyakitkan. Bercengkrama dengan diri sendiri agar mampu
kembali berdiri. Aku hanya ingin mengingatmu dengan indah, tanpa harus ada
perih. Kututup buku cerita bersamamu. Cerita yang jauh dari sempurna, namun
menjadi saksi bahwa aku dan kamu pernah ada. Kini, kita tak lebih dari
lembaran-lembaran usang yang hanya cukup untuk dikenang. Dan mencintaimu, kesalahan
yang cukup kulakukan satu kali.