Kamis, 19 Mei 2022

Cinta Yang Tak Akan Pernah Hilang

 


Kehilangan tidak akan pernah terasa mudah. Apapun bentuknya. Segala memori tentangnya akan terpatri selamanya. Tak ada orang yang baik-baik saja ketika ditinggal orang yang disayang. Seberapa keraspun kita mempersiapkan diri, hati tidak akan pernah rela. Menangislah jika itu menenangkanmu. Marahlah jika itu melegakanmu. Kecewalah jika itu membuatmu merasa lebih baik.


Tak ada jangka waktu untuk berduka saat kehilangan orang yang disayang. Sebulan-dua bulan-setahun-dua tahun. Tidak ada jaminan duka akan menghilang begitu saja. Hampa dan kosong akan tetap terasa. Tidak perlu terburu-buru, berdukalah selama itu dapat membuatmu menjadi kuat kembali.


Mungkin beberapa orang tak mengerti dukamu. Mungkin sebagian orang tak memahami lukamu. Mungkin banyak orangpun tak mengerti rasanya menjadi kamu. Namun, perasaan kehilanganmu tetap nyata. Luka di hatimu tetap nyata. Persilakan dirimu untuk bersedih, karena itu yang membuatmu terlihat manusiawi.


Mungkin di hari depan, perasaanmu tetap tidak akan lagi utuh. Ada bagian yang hilang dan tak bisa diganti dengan apapun. Namun, di hari depan berjanjilah untuk tidak akan pernah menyerah. Berjanjilah untuk kembali berdiri mengejar mimpi. Temukan lagi tujuanmu, ukir lagi senyummu. 


Mungkin raganya tak lagi bersamamu. Namun percayalah, dari atas sana, cinta kedua orang tuamu akan selalu mengiringi setiap langkah hidupmu.



Kamis, 21 Oktober 2021

Menjadi Asing Dan Usang



Beberapa tahun yang lalu, aku pernah begitu percaya pada kalimat 'dari awal kenal baik, sampai akhirpun harus baik.' Tak pernah kusangka, bahwa hidup akan berjalan di luar keinginan. Aku yang kini, merasa menyesal sempat dengan polosnya mempercayai kalimat itu. Kalimat yang saat ini terasa sulit untuk diterima.


Aku mulai belajar menerima, bahwa dia tak akan pernah kembali menjadi dia yang dulu-- orang favoritku. Meski aku tak bisa membohongi diri sepenuhnya. Ada bagian diriku yang masih mengingatnya. Dia menjelma menjadi apa saja. Menjelma menjadi rintik hujan waktu kami berdua kehujanan di sepanjang jalan Blok M atau bahkan menjelma menjadi kedai ayam bakar, tempat pertama dia menahanku ketika hendak pergi, “nggak mau ngobrol dulu?” kata dia hari itu. 


Aku memandang foto kami berdua yang sedang tersenyum dalam satu frame yang sama. Meskipun orang di dalam frame tersebut sudah berubah. Tapi kenangan yang tersimpan dalam foto tersebut tidak akan pernah berubah. “People change” begitulah bunyi quotes yang tidak terasa asing. Kini kuyakini itu benar. Tidak ada yang abadi. Mungkin dia berubah, mungkin akupun berubah, mungkin kita berdua telah berubah. Entah berubah menjadi berbeda atau berubah namun tetap berdua. Dalam ceritaku, kami berubah menjadi berbeda. 


Aku tidak tau kapan tepatnya dia berubah. Atau mungkin lebih tepatnya apa alasan dia berubah? Pertanyaan yang masih belum kuketahui jawabannya. Dia yang dulu menjadi sumber kekuatanku telah berubah menjadi dia yang tanpa lelah menyakitiku. Dia yang dulu selalu kucari dalam berbagai keadaan, berubah menjadi yang paling kuhindari. Oke ku koreksi, lebih tepatnya kami menjadi dua orang yang saling menghindari satu sama lain.


Kepingan memori kembali bermunculan tanpa kuminta. Dulu, ketika acara kantor, dia memintaku agar kami berdua satu team. Kontra sekali dengan yang terjadi saat ini. Kenyataan bahwa kami berdua saling menjauhi bahkan tak sudi untuk sekedar bertukar kata. Aku tersenyum getir. Tak bisa membuat akhir setiap cerita selalu baik. Tak bisa terus menjadi baik sampai akhir. Karena pada akhirnya aku dan kamu kini telah berubah menjadi asing dan usang.


Jumat, 09 Juli 2021

Mencintaimu Sebuah Kesalahan Yang Kusesali

 

Aku pernah mencintai seseorang sampai hampir hilang setengah waras. Berusaha menjadi ada dan apa saja. Berusaha mengalah meski air mata sering kali berakhir pecah. Berusaha mengabaikan luka yang kian lama kian menganga. Saat itu, tak kuhiraukan sisi diriku yang sudah menjerit kesakitan. Kuabaikan logika yang sudah memintaku menyerah. Merasa tuli ketika orang terdekat memintaku untuk menyudahi.


Selalu kutemukan kata maaf untuknya meski tak pernah ia ucapkan. Selalu kumencari permakluman dari apa yang ia perbuat. Aku menjadi buta. Tak peduli pada diri meski yang kurasakan hanya perih. Apakah ini cinta? Ketika yang kudapatkan hanyalah penghinaan yang tak berakhir. Apakah ini cinta? Ketika yang ia lakukan jauh dari kata menghargai.


Mungkin baginya menyenangkan, dicintai seseorang hingga merasa berhak berbuat sesuka hati. Mungkin baginya aku bagaikan sampah, yang pantas diperlakukan semaunya. Mungkin baginya aku hama yang harus segera dia basmi. Mungkin ia lupa bahwa aku makhluk hidup yang masih memiliki hati, bukan benda mati. Tak bisakah ia menjadi seperti pria sejati? Lebih baik berterus terang tentang apa yang dirasa bukan terus menyiksa dan membuatku menyerah perlahan.


Sampai disatu titik aku tersungkur. Sudah hancur lebur hingga tak lagi mampu berdiri. Kuperhatikan diri, sudah berapa lama tak pernah kupeduli? Hingga luka disana sini yang entah dengan cara apa aku mengobati. Saat itu akhirnya tersadar, cinta yang kupunya tak pernah memiliki makna untuknya.


Aku berhenti. Memilih untuk memperhatikan diri yang telah lama dibiarkan tersakiti. Mengobati luka dan menyatukan kembali kepingan hati yang ia patahkan. Mengingat betapa kejam perlakuannya, membuatku melambungkan harap agar ia tak merasa baik-baik saja. Agar kelak semoga waktu membalikan apa yang telah ia lakukan kepadaku. Tak ada lagi rasa cinta. Tak ada lagi rasa iba. Tak ada lagi rasa sayang. Semua sudah kubunuh paksa. Yang tersisa hanya perasaan tak terima atas perlakuanmu yang menyakitkan.


Sudahlah. Aku berusaha memaafkanmu. Aku berusaha untuk tak membencimu. Berusaha tak dendam padamu. Aku percaya, semesta akan bekerja dengan caranya. Semoga kamu bahagia dengan apapun yang telah kamu lakukan. Kini aku menyadari, mencintaimu adalah sebuah kesalahan yang paling kusesali.


Kamis, 10 Desember 2020

Rindu Ini Masih Menyebut Namamu

 

Apa yang menyedihkan dari rindu? Ketika ia ada dihadapanmu, namun tak lagi melihat ke arahmu. Apa yang lebih menyakitkan dari rindu? Ketika ia ada di dekatmu, namun tak lagi bisa kau tuju. Senyumnya bukan untukmu lagi, tawanya bukan karenamu lagi.

Semua telah berubah. Semua tak lagi terasa sama. Ada kosong yang tak bisa dijelaskan oleh kata. Ada hampa yang semakin kian terasa. Kau ada dihidupku, tapi bukan untuk kumiliki. Kau ada di hariku, namun tak lagi bisa kuraih.

Rasa tak berdaya tiap kali rindu tentang menyerang tanpa peduli aku yang sudah hancur. Aku menghibur diri tiap kali rindu datang tanpa permisi. Dulu, kamu yang selalu kucari diujung hari lelahku. Kamu yang selalu meredakan badai dalam setiap hari burukku. Kamu yang selalu meyakinkan ku bahwa semua akan baik-baik aja. Saat itu, hati selalu terasa teduh tiap kali kau ada.

Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku bisa tertawa lepas. Sejak kepergianmu, langit yang menaungiku seakan terasa runtuh. Tak lagi dapat melihat langit yang sama, tak lagi dapat melihat warna yang sama.

Hari-hariku tak lagi terasa lengkap. Ada sakit yang kurasakan, ada pedih yang kupendam. Seakan ada bagian dalam diri yang juga ikut terambil. Ada bagian yang tak lagi terasa pas. Airmata selalu menetes saat rasa rindu ini hadir. Gambaran kita yang dulu pernah tertawa bersama menjadi kita yang kini berlomba menorehkan luka. Kita yang berawal dari asing, menjadi kita yang kembali menjadi asing.

Mengingat semua kenangan di hari lalu, semakin membuat hati terasa pilu. Tak ku sangka, merindukanmu akan terasa menyakitkan. Saat tak ada lagi kata yang bisa terucap. Saat tak ada lagi yang bisa kuperbuat. Rasanya masih bisa melihatmu dari kejauhan menjadi sesuatu yang harus kusyukuri.

Kuyakinkan diri bahwa aku akan baik-baik saja tanpamu. Meski berkali-kali aku merasa patah. Kulambungkan harap, agar Tuhan berkenan mengulang cerita kembali, meski hanya satu hari. Untuk bisa bertemu denganmu sekali lagi. Untuk berkenalan denganmu sekali lagi. Dan untuk bisa berbagi tawa denganmu sekali lagi.

Merindukanmu adalah siksa bagiku, saat rindu ini masih saja menyebut namamu.

Rabu, 11 November 2020

Lembar-Lembar Usang

 

Aku pernah mengenal seseorang. Bahkan mungkin masih kukenal hingga kini. Seseorang yang setengah mati ingin kubenci. Seseorang yang susah payah kucoba untuk tak lagi peduli. Kamu, yang hingga kini masih terpatri dalam pikiranku.

Aku mencoba membuka kenangan lembaran demi lembaran hari yang pernah kulalui bersamamu. Mengingat setiap kenangan yang merekam segala tentangmu. Bohong rasanya jika kini kukatakan bahwa aku baik-baik saja.

Kumulai membuka lembar pertama, saat aku mengenalmu. Mengenal sosokmu yang begitu dingin dan tertutup. Bagai dinding berlapis baja, pertahananmu sulit untuk kutembus. Pelan-pelan, kau mulai membuka diri. Membiarkanku memasuki duniamu. Saat itu terasa membahagiakan. Senyum tak lepas dari bibirku setiap hari. Melihat sisi lain dirimu yang tak bisa kau tunjukan di depan banyak orang.

Aku membuka lembar berikutnya, masih terisi dengan berbagai kisah manis yang mengingatnya saja bisa membuatku tersenyum. Kita yang kala itu masih menertawakan hal yang sama, masih berbagi kisah tentang apa saja, dan sesekali berdebat hanya karena perbedaan pendapat. Kamu yang sering memaksaku untuk mendengarkan lagu-lagu kesukaanmu meski sering kali aku mengeluhkan seleramu yang terlalu tua. “Justu ini yang menginspirasi,” katamu kala itu sambil tersenyum penuh kemenangan karena melihatku hanya bisa pasrah dan terpaksa ikut mendengarkan.

Aku teringat ketika kamu yang menenangkanku disaat kepanikan melanda ketika aku harus memutus kontrak karyawan; karena kamu tahu aku paling tidak suka menyampaikan berita buruk. Pernah juga suatu waktu, kamu menceritakan kekecewaan yang tak bisa kamu ceritakan pada siapapun. Kamu yang hanya bisa bercerita kepadaku, menumpahkan segala kemarahanmu, mengekspresikan semua kekecewaanmu. Tidak ada yang mengerti kamu sebaik aku. Tidak ada yang mampu menenangkanku selain kamu.

Lembar selanjutnya mulai terlihat kusam. Halaman yang berisikan kekecewaan. Lembar kebahagaiaan yang membuatku tersenyum seakan tidak lagi bermakna. Sejak awal kita tak benar-benar berjalan pada garis yang sama. Kita yang terlalu terlena hingga tanpa sadar memaksakan agar tetap dapat berjalan di garis yang sama. Kita yang berbeda dalam menyebut nama Tuhan, namun berusaha selalu ada tiap kali kita saling membutuhkan.

Hingga satu hari secara tiba-tiba kau berkata bahwa aku menghalangi serta menjadi penghambat hidupmu. Kau ingin agar aku menjauh darimu. Bagai petir di siang terik, kau hancurkan hatiku tanpa sisa. Benar, tidak ada yang lebih menyakitkan dari dikecewakan oleh orang yang dianggap tak akan pernah menyakiti.

Aku menarik seratus langkah menjauh darimu. Kau kembali membangun tembok setinggi-tingginya. Tidak ada lagi cerita manis seperti di hari lalu. Tidak ada lagi tawa yang kita bagi diujung hari. Tidak ada lagi celah meski untuk sebatas menyapa. Kita memilih dan kembali menjadi asing. Katamu, itu cara agar kita bisa kembali pada garis masing-masing. Katamu, itu cara agar kita bisa saling melupa. Katamu, itu cara agar aku bisa kembali bahagia. Dan katamu, itu cara agar aku bisa membencimu. Kemudian di lembar ini, ada dia—yang kau perkenalkan untuk mengisi duniamu. Dia—yang beribadah di tempat yang sama denganmu.

Kini, hari-hari yang kulalui tak lagi terasa berwarna. Pertengkaran demi pertengkaran menghapus semua tawa di hari lalu. Tatap hangatmu yang dulu menenangkan kini berganti dengan sorot mata penuh kebencian. Aku melewati malam-malam yang buruk. Kenangan bersamamu sering kali menghantam bertubi-tubi. Tak pernah kusangka, meninggalkanmu akan semenyakitkan ini. Aku seakan tak lagi mengenali diriku. Senyum yang dulu selalu terhias di bibirku, kini berganti air mata yang siap tumpah kapanpun. Tak bisa kah kita berpisah tanpa harus saling membenci?

Menjauhimu memang tak pernah terasa mudah. Kau ada di hidupku, tapi tidak untuk kumiliki. Berkali-kali aku harus membunuh rindu yang tersembunyi ketika mata kita bertemu. Aku ingat satu hari di masa lalu, ketika kita masih membagi tawa yang sama, bukan kini kita yang saling berlomba siapa yang paling unggul perihal menorehkan luka.

Hari demi hari kulalui dengan sulit. Berusaha merelakanmu memilih dia yang kelak mendampingi hidupmu. Merelakanmu membagi tawa dan cerita di ujung hari lelahmu, yang bukan dengan aku. Merelakan segala kenangan mengabur bersama langkahmu yang kian menjauh.

Kubuka lembar terakhir. Hidup harus terus berlanjut. Aku berusaha menguatkan hati berkali kali. Mencoba berdamai dengan keadaan meski menyakitkan. Bercengkrama dengan diri sendiri agar mampu kembali berdiri. Aku hanya ingin mengingatmu dengan indah, tanpa harus ada perih. Kututup buku cerita bersamamu. Cerita yang jauh dari sempurna, namun menjadi saksi bahwa aku dan kamu pernah ada. Kini, kita tak lebih dari lembaran-lembaran usang yang hanya cukup untuk dikenang. Dan mencintaimu, kesalahan yang cukup kulakukan satu kali.

Senin, 24 Februari 2020

Cinta Tak Pernah Cukup Untuk Kamu Yang Tak Pandai Menghargai


Hari berlalu terlalu cepat. Waktu berputar tanpa kenal kembali. Kalau saja setiap kejadian mengenal kata seandainya. Seandainya hari itu tidak pernah terjadi. Seandainya waktu tak membawaku mengenalmu. Dan seandainya hati tak pernah jatuh kepadamu. Mungkin senyum itu tetap terlukis di bibirku. Mungkin tawa itu tetap terhias di wajahku. Bukan tangis dan air mata yang mengisi sela sepiku.

Aku mengutuk kebodohan diriku berulang kali. Menjatuhkan hati pada seseorang yang terlalu senang mempermainkan hati. Aku berkali-kali menyesali kebodohanku. Menyia-nyiakan waktu hanya untuk seseorang yang semu. Jika setiap kejadian mengenal kata seandainya. Seandainya hari itu aku tak pernah mengenalmu.

Aku pernah bertanya pada waktu, apa tujuan mengirimkan dia dalam cerita hidupku? Di hari lalu, aku bertemu dia. Sosok yang kala itu menjadi sumber kekuatan. Kini menjadi sosok yang kian melemahkan.

Kau dan aku memang tak ditakdirkan berjalan pada garis yang sama. Kamu yang terlalu senang mengacuhkan dan aku yang bersusah payah bertahan. Kamu yang terlalu senang menyalahkan dan aku yang terlalu lelah untuk pembelaan.

Hari-hari lalu selalu terisi dengan candamu. Tak henti-hentinya senyuman menghiasi wajahku. Tak peduli seberat apapun hari yang kulalui, kamu selalu ada di sisi menemani. Kini segalanya berganti. Seakan waktu yang diberikan untuk bersamamu sudah habis. Tak ada lagi tawa yang menghiasi hari, kini berganti dengan pertengkaran yang tiada henti. Aku yang gagal mengerti kamu dan kamu yang terlalu mudah untuk menjauh.

Rasanya percuma, menggapai seseorang yang bahkan sekuat tenaga ia berusaha mendorongku untuk menjauh. Rasanya sia-sia, menatap seseorang yang bahkan tatapannya tidak pernah mengarah kepadaku. Kalau saja setiap kejadian mengenal kata seandainya. Seandainya hati tak pernah jatuh kepadamu.

Lelahku akhirnya menemui ujungnya. Luka yang kau tanam kini kian menimbulkan perih. Aku berhenti. Tidak lagi berusaha peduli padamu. Tidak lagi berusaha menjadi ada dihadapanmu. Mencoba menguatkan hati untuk dapat kembali pulih. Mencoba kembali berdiri dan melangkah pergi. Karena kini aku menyadari, cinta tidak pernah cukup untuk kamu yang tak pandai menghargai.



Minggu, 23 Februari 2020

Hari itu...

"HOI!" Revan menepuk belakang kursiku hingga terdorong ke depan dan membuatku nyaris terjungkal karena terkejut. 
"Apaan sih, Van! Nggak lucu tau nggak." Jawabku setengah sewot dan setengah malas. Hari itu, mood ku benar-benar sangat kacau.
"Ebuset, galak bener sih. Ngapa lo?" Tanya Revan yang kini sudah duduk di meja ku. Kebiasaan Revan seperti itu, tidak peduli meja ku penuh dengan dokumen dan berkas.
"Lo nggak ada info lowongan, Van?" Tanyaku dengan tampang memelas yang tak lepas dari layar laptop, nyaris frustasi.
Revan memperhatikan layar laptopku yang menampilkan file-file lamaran pekerjaan. Dari mulai Curiculum Vitae, ijazah, transkrip dan lain-lainnya yang menjadi syarat formal melamar pekerjaan.
“Mau sampe kapan lo terus-terusan lari, Ra?” Intonasi Revan kini terdengar mengintimidasi.                                                                                        
“Nggak ada yang lari Van, gue cuma mau cari suasana baru aja.” Jawabku sediplomatis mungkin.

“Halah, klasik. Satu-satunya hal yang lo lupa, mata lo nggak pernah bisa bohong, Ra.” Revan tetap bertahan pada argumennya.
“menyembuhkan diri bukan dengan cara terus-terusan lari atau menghindar, Ra. Lo harus bisa belajar menyembuhkan diri di tempat. Mau sampe kapan terus-terusan lari?”
Aku terdiam mendengar ucapan Revan yang beranjak meninggalkan ruanganku. Revan— sahabat dekatku di kantor. Aku tahu semua yang diucapkan Revan benar, bahwa aku sedang berusaha lari untuk menghindari seseorang. Seseorang yang sedang berusaha aku ikhlaskan dengan berbagai cara.

Namun bagiku, usaha untuk melupakan tidak akan berhasil jika aku masih bertemu dengan dia setiap hari di kantor. Mataku menangkap sebuah foto yang terpajang di meja kerja, foto bersama seseorang yang sedang tersenyum. Tiba-tiba ada yang menetes membasahi pipiku. Aku menangis; merindukan seseorang dalam foto tersebut yang memaksaku harus melangkahkan kaki dari kantor tempatku bekerja.

Pikiranku mulai menerawang, mengingat ketika pertama kali menginjakan kaki di kantor ini…

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(lagi mencoba produktif di malam hari, tapi ternyata panjang kalo diposting di sini, yaudah segini aja deh)