Rabu, 11 November 2020

Lembar-Lembar Usang

 

Aku pernah mengenal seseorang. Bahkan mungkin masih kukenal hingga kini. Seseorang yang setengah mati ingin kubenci. Seseorang yang susah payah kucoba untuk tak lagi peduli. Kamu, yang hingga kini masih terpatri dalam pikiranku.

Aku mencoba membuka kenangan lembaran demi lembaran hari yang pernah kulalui bersamamu. Mengingat setiap kenangan yang merekam segala tentangmu. Bohong rasanya jika kini kukatakan bahwa aku baik-baik saja.

Kumulai membuka lembar pertama, saat aku mengenalmu. Mengenal sosokmu yang begitu dingin dan tertutup. Bagai dinding berlapis baja, pertahananmu sulit untuk kutembus. Pelan-pelan, kau mulai membuka diri. Membiarkanku memasuki duniamu. Saat itu terasa membahagiakan. Senyum tak lepas dari bibirku setiap hari. Melihat sisi lain dirimu yang tak bisa kau tunjukan di depan banyak orang.

Aku membuka lembar berikutnya, masih terisi dengan berbagai kisah manis yang mengingatnya saja bisa membuatku tersenyum. Kita yang kala itu masih menertawakan hal yang sama, masih berbagi kisah tentang apa saja, dan sesekali berdebat hanya karena perbedaan pendapat. Kamu yang sering memaksaku untuk mendengarkan lagu-lagu kesukaanmu meski sering kali aku mengeluhkan seleramu yang terlalu tua. “Justu ini yang menginspirasi,” katamu kala itu sambil tersenyum penuh kemenangan karena melihatku hanya bisa pasrah dan terpaksa ikut mendengarkan.

Aku teringat ketika kamu yang menenangkanku disaat kepanikan melanda ketika aku harus memutus kontrak karyawan; karena kamu tahu aku paling tidak suka menyampaikan berita buruk. Pernah juga suatu waktu, kamu menceritakan kekecewaan yang tak bisa kamu ceritakan pada siapapun. Kamu yang hanya bisa bercerita kepadaku, menumpahkan segala kemarahanmu, mengekspresikan semua kekecewaanmu. Tidak ada yang mengerti kamu sebaik aku. Tidak ada yang mampu menenangkanku selain kamu.

Lembar selanjutnya mulai terlihat kusam. Halaman yang berisikan kekecewaan. Lembar kebahagaiaan yang membuatku tersenyum seakan tidak lagi bermakna. Sejak awal kita tak benar-benar berjalan pada garis yang sama. Kita yang terlalu terlena hingga tanpa sadar memaksakan agar tetap dapat berjalan di garis yang sama. Kita yang berbeda dalam menyebut nama Tuhan, namun berusaha selalu ada tiap kali kita saling membutuhkan.

Hingga satu hari secara tiba-tiba kau berkata bahwa aku menghalangi serta menjadi penghambat hidupmu. Kau ingin agar aku menjauh darimu. Bagai petir di siang terik, kau hancurkan hatiku tanpa sisa. Benar, tidak ada yang lebih menyakitkan dari dikecewakan oleh orang yang dianggap tak akan pernah menyakiti.

Aku menarik seratus langkah menjauh darimu. Kau kembali membangun tembok setinggi-tingginya. Tidak ada lagi cerita manis seperti di hari lalu. Tidak ada lagi tawa yang kita bagi diujung hari. Tidak ada lagi celah meski untuk sebatas menyapa. Kita memilih dan kembali menjadi asing. Katamu, itu cara agar kita bisa kembali pada garis masing-masing. Katamu, itu cara agar kita bisa saling melupa. Katamu, itu cara agar aku bisa kembali bahagia. Dan katamu, itu cara agar aku bisa membencimu. Kemudian di lembar ini, ada dia—yang kau perkenalkan untuk mengisi duniamu. Dia—yang beribadah di tempat yang sama denganmu.

Kini, hari-hari yang kulalui tak lagi terasa berwarna. Pertengkaran demi pertengkaran menghapus semua tawa di hari lalu. Tatap hangatmu yang dulu menenangkan kini berganti dengan sorot mata penuh kebencian. Aku melewati malam-malam yang buruk. Kenangan bersamamu sering kali menghantam bertubi-tubi. Tak pernah kusangka, meninggalkanmu akan semenyakitkan ini. Aku seakan tak lagi mengenali diriku. Senyum yang dulu selalu terhias di bibirku, kini berganti air mata yang siap tumpah kapanpun. Tak bisa kah kita berpisah tanpa harus saling membenci?

Menjauhimu memang tak pernah terasa mudah. Kau ada di hidupku, tapi tidak untuk kumiliki. Berkali-kali aku harus membunuh rindu yang tersembunyi ketika mata kita bertemu. Aku ingat satu hari di masa lalu, ketika kita masih membagi tawa yang sama, bukan kini kita yang saling berlomba siapa yang paling unggul perihal menorehkan luka.

Hari demi hari kulalui dengan sulit. Berusaha merelakanmu memilih dia yang kelak mendampingi hidupmu. Merelakanmu membagi tawa dan cerita di ujung hari lelahmu, yang bukan dengan aku. Merelakan segala kenangan mengabur bersama langkahmu yang kian menjauh.

Kubuka lembar terakhir. Hidup harus terus berlanjut. Aku berusaha menguatkan hati berkali kali. Mencoba berdamai dengan keadaan meski menyakitkan. Bercengkrama dengan diri sendiri agar mampu kembali berdiri. Aku hanya ingin mengingatmu dengan indah, tanpa harus ada perih. Kututup buku cerita bersamamu. Cerita yang jauh dari sempurna, namun menjadi saksi bahwa aku dan kamu pernah ada. Kini, kita tak lebih dari lembaran-lembaran usang yang hanya cukup untuk dikenang. Dan mencintaimu, kesalahan yang cukup kulakukan satu kali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar