Senin, 24 Februari 2020

Cinta Tak Pernah Cukup Untuk Kamu Yang Tak Pandai Menghargai


Hari berlalu terlalu cepat. Waktu berputar tanpa kenal kembali. Kalau saja setiap kejadian mengenal kata seandainya. Seandainya hari itu tidak pernah terjadi. Seandainya waktu tak membawaku mengenalmu. Dan seandainya hati tak pernah jatuh kepadamu. Mungkin senyum itu tetap terlukis di bibirku. Mungkin tawa itu tetap terhias di wajahku. Bukan tangis dan air mata yang mengisi sela sepiku.

Aku mengutuk kebodohan diriku berulang kali. Menjatuhkan hati pada seseorang yang terlalu senang mempermainkan hati. Aku berkali-kali menyesali kebodohanku. Menyia-nyiakan waktu hanya untuk seseorang yang semu. Jika setiap kejadian mengenal kata seandainya. Seandainya hari itu aku tak pernah mengenalmu.

Aku pernah bertanya pada waktu, apa tujuan mengirimkan dia dalam cerita hidupku? Di hari lalu, aku bertemu dia. Sosok yang kala itu menjadi sumber kekuatan. Kini menjadi sosok yang kian melemahkan.

Kau dan aku memang tak ditakdirkan berjalan pada garis yang sama. Kamu yang terlalu senang mengacuhkan dan aku yang bersusah payah bertahan. Kamu yang terlalu senang menyalahkan dan aku yang terlalu lelah untuk pembelaan.

Hari-hari lalu selalu terisi dengan candamu. Tak henti-hentinya senyuman menghiasi wajahku. Tak peduli seberat apapun hari yang kulalui, kamu selalu ada di sisi menemani. Kini segalanya berganti. Seakan waktu yang diberikan untuk bersamamu sudah habis. Tak ada lagi tawa yang menghiasi hari, kini berganti dengan pertengkaran yang tiada henti. Aku yang gagal mengerti kamu dan kamu yang terlalu mudah untuk menjauh.

Rasanya percuma, menggapai seseorang yang bahkan sekuat tenaga ia berusaha mendorongku untuk menjauh. Rasanya sia-sia, menatap seseorang yang bahkan tatapannya tidak pernah mengarah kepadaku. Kalau saja setiap kejadian mengenal kata seandainya. Seandainya hati tak pernah jatuh kepadamu.

Lelahku akhirnya menemui ujungnya. Luka yang kau tanam kini kian menimbulkan perih. Aku berhenti. Tidak lagi berusaha peduli padamu. Tidak lagi berusaha menjadi ada dihadapanmu. Mencoba menguatkan hati untuk dapat kembali pulih. Mencoba kembali berdiri dan melangkah pergi. Karena kini aku menyadari, cinta tidak pernah cukup untuk kamu yang tak pandai menghargai.



Minggu, 23 Februari 2020

Hari itu...

"HOI!" Revan menepuk belakang kursiku hingga terdorong ke depan dan membuatku nyaris terjungkal karena terkejut. 
"Apaan sih, Van! Nggak lucu tau nggak." Jawabku setengah sewot dan setengah malas. Hari itu, mood ku benar-benar sangat kacau.
"Ebuset, galak bener sih. Ngapa lo?" Tanya Revan yang kini sudah duduk di meja ku. Kebiasaan Revan seperti itu, tidak peduli meja ku penuh dengan dokumen dan berkas.
"Lo nggak ada info lowongan, Van?" Tanyaku dengan tampang memelas yang tak lepas dari layar laptop, nyaris frustasi.
Revan memperhatikan layar laptopku yang menampilkan file-file lamaran pekerjaan. Dari mulai Curiculum Vitae, ijazah, transkrip dan lain-lainnya yang menjadi syarat formal melamar pekerjaan.
“Mau sampe kapan lo terus-terusan lari, Ra?” Intonasi Revan kini terdengar mengintimidasi.                                                                                        
“Nggak ada yang lari Van, gue cuma mau cari suasana baru aja.” Jawabku sediplomatis mungkin.

“Halah, klasik. Satu-satunya hal yang lo lupa, mata lo nggak pernah bisa bohong, Ra.” Revan tetap bertahan pada argumennya.
“menyembuhkan diri bukan dengan cara terus-terusan lari atau menghindar, Ra. Lo harus bisa belajar menyembuhkan diri di tempat. Mau sampe kapan terus-terusan lari?”
Aku terdiam mendengar ucapan Revan yang beranjak meninggalkan ruanganku. Revan— sahabat dekatku di kantor. Aku tahu semua yang diucapkan Revan benar, bahwa aku sedang berusaha lari untuk menghindari seseorang. Seseorang yang sedang berusaha aku ikhlaskan dengan berbagai cara.

Namun bagiku, usaha untuk melupakan tidak akan berhasil jika aku masih bertemu dengan dia setiap hari di kantor. Mataku menangkap sebuah foto yang terpajang di meja kerja, foto bersama seseorang yang sedang tersenyum. Tiba-tiba ada yang menetes membasahi pipiku. Aku menangis; merindukan seseorang dalam foto tersebut yang memaksaku harus melangkahkan kaki dari kantor tempatku bekerja.

Pikiranku mulai menerawang, mengingat ketika pertama kali menginjakan kaki di kantor ini…

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(lagi mencoba produktif di malam hari, tapi ternyata panjang kalo diposting di sini, yaudah segini aja deh)